Selasa, 11 Januari 2011

Kisah Edelweis

Ana menatap langit. Awan mulai menghitam. Cahaya mentari pagi yang lembut perlahan mulai memudar. Sebentar lagi mendung akan menyelimuti Padang Edelweis. Sebentar lagi mendung akan menyertai duka di hatinya.

Ana menundukkan wajah. Matanya tertuju pada kuntum-kuntum Edelweis yang tergenggam erat dalam kedua belah telapak tangannya. Edelweis yang dipetik oleh kekasihnya seminggu lalu. Edelweis yang didambakan sebagai hadiah ulang tahunnya. Edelweis yang telah menyebabkan lenyapnya Agil, kekasihnya.

Angin berhembus kencang, memporak-porandakan tatanan rambutnya. Hawa dingin mulai terasa menyusupi tulang-belulang. Ana kembali menatap langit. Gelap. Anto dan Abuh, kedua sahabatnya yang sejak awal berada di sisinya melakukan gerakan yang sama. Gerimis mulai turun membasuh hamparan Edelweis. Gerimis di mata Ana mulai mengaliri pipinya yang bersih. Satu demi satu butirannya jatuh menetesi kuntum-kuntum Edelweis yang berada dalam genggaman tangannya.

Rasa dingin kian menyengat. Mereka bertiga tetap berdiri bertahan dalam diam. Seluruh kata-kata tertahan oleh duka dalam rongga hati. Dibiarkannya gerimis membasahi tubuh mereka. Dibiarkannya rasa dingin menyusupi tulang belulang.

Ana menundukkan wajah kembali. Matanya kembali menatap kuntum-kuntum Edelweis dalam genggamannya. Kuntum-kuntum itu telah basah dibasuh gerimis dan air matanya. Perlahan…..tatapannya terberai. Bait-bait kenangan perlahan merayapi kelopak matanya. Ia tak kuasa untuk menepisnya, hingga bait-bait kenangan itu menghalangi pandangannya…..

Peristiwa dua hari sebelum lenyapnya Agil terbayang jelas dalam kelopak matanya…..

“Aku mau naik, An,” Agil berkata pelan sambil menatap Ana dengan sorot matanya yang lembut.

“Naik?” Ana mengernyitkan keningnya.

“Ya. Aku mau naik gunung hari ini.”

“Kemana?”

“Papandayan!”

“Sendirian?”

“Nggak, aku berdua dengan Anto.”

Ana terdiam sejenak. Matanya menatap wajah Agil. Agil balas menatap dengan senyum kecil menghias wajahnya.

“Aku ingin kamu batalkan niatmu itu, Gil!” pinta Ana.

“Nggak bisa, An,” jawab Agil lembut.

“Kenapa?” Ana menyelidik.

“Ini panggilan jiwa, An.”

“Panggilan jiwa?” Ana menarik nafasnya sejenak. “Tiap kali aku bertanya, kenapa kamu naik gunung? Kamu selalu menjawab seperti itu!” nada suaranya mulai meninggi. “Aku sama sekali tak pernah mengerti dengan jawabanmu itu!” lanjut Ana dengan mimik wajah menampakkan kekesalan.

“Panggilan jiwaku untuk naik gunung adalah sama dengan panggilan jiwaku untuk selalu berada dekat di sisimu, An,” ujar Agil dengan nada suara biasa, datar. “Gunung adalah sahabat, An,” Agil menambahkan.

“Ya! Jawabanmu tak pernah berubah, selalu seperti itu, tapi kenyataannya kamu lebih mencintai gunung ketimbang aku!” Ana menghela nafas sejenak. “Hampir seluruh waktu senggangmu kamu habiskan di gunung, sepertinya kamu tak pernah punya waktu sedikitpun untukku!” lanjutnya penuh emosi.

“Tidak, An, cintaku kepadamu tetap melebihi segalanya,” sergah Agil penuh keyakinan. Ia ingin meredam emosi dan kecemburuan yang sedang mengusik kekasihnya. “Dan aku selalu punya waktu untuk menemanimu,” sambungnya dengan senyum kecil di bibirnya yang tipis.

Ana terdiam. Ditelannya senyum kecil Agil bersama kata-katanya yang terasa mampu meredam gejolak emosi dalam dadanya. Tapi dalam dadanya masih bersemayam perasaan cemas. Ia takut jika Agil lebih mencintai gunung ketimbang dirinya. Ia takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan menimpa Agil saat mendaki gunung. Dan yang pasti…..ia takut kehilangan Agil.

“Apa kamu nggak bosan hampir tiap minggu naik gunung?” Ana kembali melontarkan pertanyaan. “Aku selalu khawatir jika kamu berada di gunung.”

“Sudah aku katakan tadi, bahwa itu pangilan jiwa dan aku tak pernah merasa bosan untuk naik gunung,” Agil menjawab tenang. “Kamu tak usah mengkhawatirkan aku, An, …..aku bisa jaga diri dengan baik.”

Terbersit sinar kekhawatiran yang mendalam dari mata Ana saat mendengar jawaban cowok yang berada di hadapannya. Cowok yang telah dua tahun menjadi penghuni hatinya. Cowok yang selalu hadir memberi warna-warna indah buah tidurnya.

“Gil, apa kamu nggak ingat, bahwa lusa nanti aku ulang tahun?” Ana mengingatkan hari ultahnya. “Aku ingin merayakannya bersamamu!”

“Aku ingat, An. Aku…..”

“Bohong! Kalau kamu ingat, kenapa kamu mau naik gunung sekarang?” Ana memotong kata-kata Agil dengan nada suara yang meninggi.

“Sungguh, An, aku ingat. Aku akan kembali tepat di hari ulang tahunmu dan kita akan merayakannya bersama…..”

“Dusta! Kalau kamu sudah berada di gunung, kamu tak pernah ingat waktu. Tahun lalu pun kamu berkata seperti itu, tapi nyatanya kamu tak hadir di hari ulang tahunku. Kamu masih asyik di gunung!” Ana menyentuh bibir matanya, menahan air matanya yang ingin keluar. “Padahal…..aku sangat mengharapkan kamu hadir pada saat itu…..” Ana tak mampu untuk meneruskan kata-katanya. Ia rasakan air matanya telah jatuh mengaliri pipinya. Bergegas ia menghapusnya, namun perlahan air mata itu masih terus mengalir membasahi pipinya yang bersih.

Agil terdiam. Perasaan salah mengerubuti jiwanya.

“Sungguh, An, aku berjanji, aku akan kembali di hari ulang tahunmu,” Agil berkata lembut. Jari-jemari tangannya membelai pipi Ana. Meghapus butiran air bening yang mengalir dari mata Ana. “Aku cuma dua hari di sana…..setelah itu kita masih punya empat hari sisa liburan sekolah dan akan kuisi hari-hari itu bersamamu, An,” lanjutnya, berjanji.

Ana menghela nafas. Ditelannya janji Agil bersama air matanya. Tak kuasa rasanya ia untuk mencegah keinginan kekasihnya. Sia-sia, itulah yang akan ia alami jika ia tetap bersikeras menahan kepergian Agil untuk naik gunung. Apalagi Agil sudah berada dalam keadaan siap dengan ransel biru menggantung di bahu kirinya. Kini ia hanya bisa berharap Agil dapat mewujudkan janjinya.

“Bagaimana, An, boleh kan aku naik gunung?” Agil bertanya lembut.

Ana menatap wajah kekasihnya. Kemudian mengangguk.

“Terima kasih, An,” ucap Agil sambil mengecup kening Ana.

Ana tersenyum bahagia. “Tapi…..jika kamu kembali, aku ingin kamu bawakan aku bunga Edelweis!” suaranya lembut mengadung tuntutan.

Agil tercengang. Alis matanya naik dan bola matanya nampak membesar. “Maaf, An. Aku tak bisa memenuhi permintaanmu itu.”

“Kenapa?” Ana menyelidik.

“Itu berarti aku berkhianat pada alam dan sumpahku sebagai seorang pencinta alam,” jelas Agil. “Aku tak sampai hati untuk memisahkan bunga-bunga itu dari kelompoknya dan bathinku akan menangis jika aku melihat bunga-bunga itu jadi hiasan yang mengisi vas bunga,” Agil menarik nafas sejenak. “Biarlah bunga itu tumbuh di sana, dekat dengan kelompoknya.”

“Aku tak peduli! Aku hanya ingin kamu memetikkan bunga itu sebagai hadiah ulang tahunku!” Ana kembali menuntut.

Agil menarik nafas dalam-dalam. Gelisah berkecamuk dalam rongga dadanya. Ia berada dalam posisi yang sulit.

“Berapa tangkai yang kau inginkan?” Agil bertanya lembut, sepertinya ia ingin memenuhi permintaan kekasihnya.

“Delapanbelas!” jawab Ana cepat.

“Banyak sekali, An?”

“Sesuai dengan usiaku!”

Agil terdiam. Matanya megitari halaman rumah Ana. Ia menikmati taman mungil yang tampak sejuk, namun tak dapat menyejukkan hatinya. Permintaan kekasihnya telah mengganggu pikirannya.

“Aku ke tempat Anto dan langsung berangkat, An,” Agil berkata seraya memasukkan tangan kanannya di sela tali ransel biru kesayangannya. Ia berlalu meninggalkan Ana, membawa kegalauan di hati. Keinginan Ana menjadi suatu beban berat dalam pikirannya.

Ana terpaku menatap kepergian Agil dengan ransel biru di pungungnya. Ia baru tersadar ketika yang ditatapnya lenyap di sebuah tikungan jalan. Dipandangnya langit. Matahari mulai meninggi.

***

Ana mengusap wajah. Ia menghapus kenangan yang merayapi kelopak matanya. Pandangannya kembali seperti semula. Hamparan Edelweis di hadapannya nampak semakin basah dicumbu gerimis.

Rasa dingin kian menyengat. Ana berlutut. Kedua sahabatnya tetap berdiri dalam diam. Mata mereka memperhatikan setiap gerakan Ana. Satu demi satu kuntum-kuntum Edelweis yang berada dalam genggamannya dilepaskan dan ditancapkan pada tanah yang berbatu. Ana mengembalikan kuntum-kuntum itu pada kelompoknya.

Anto menghitung dalam hati. Delapanbelas. Ya, ada delapanbelas tangkai. Sama seperti jumlah yang dipetik Agil, sahabatnya.

Ana berdiri. Matanya menatapi kuntum-kuntum Edelweis yang baru ia tancapkan. Ia tahu bahwa bunga-bunga itu tak akan pernah bisa tumbuh lagi meski ditanam kembali.

Ana mendesah. “Maafkan aku, Gil,” suara dalam hatinya penuh penyesalan. Air matanya kembali mengaliri pipinya yang bersih. Duka kian terasa menggerogoti jiwa.

Ana tengadah. Kedua tangannya terangkat ke atas, memanjatkan do’a kepada Sang Pencipta. Anto dan Abuh mengikuti. Mereka berdo’a dalam hati. Mereka berdo’a untuk Agil.

Perlahan Ana menurunkan kedua tangannya. Telapak tangannya mengusap wajah, tanda do’anya usai. Kedua sahabatnya melakukan hal yang sama. Usai sudah upacara pengembalian kuntum-kuntum Edelweis.

“Sudah, An?” Anto membuka suara.

Ana mengangguk. Butiran air bening masih terus mengalir dari matanya. Kesedihan masih bersemayam dalam dirinya.

“Hapus air matamu, An! Bukan cuma kamu saja yang merasa kehilangan Agil, kami pun merasakan apa yang sedang kamu rasakan,” Anto mengingatkan.

“Benar, An. Kami pun merasa kehilangan, karena dia sahabat terbaik kami,” Abuh menimpali.

Ana menghapus air matanya dengan jari-jemari tangannya. “Semua ini memag salahku…..”

“Sudahlah, An, nggak usah kamu sesali dan salahkan dirimu sendiri. Itu semua takdir Tuhan,” Anto menggunting kata-kata Ana. Ia tak ingin Ana menyesali diri dan terus larut dalam duka atas kejadian yang telah menimpa kekasihnya.

Sejenak mereka terdiam. Hening. Mata mereka saling bertatapan.

“Bagaimana kalau kita kembali ke Pondok Cisalada sekarang?” Abuh membuka suara dengan ajakan.

Ana dan Anto menganguk, menyetujui ajakan Abuh. Sejenak, mereka menatapi kembali kuntum-kuntum Edelweis yang baru ditancapkan Ana untuk memberi salam terakhir, kemudian melangkah meninggalkan Padang Edelweis.

Gerimis belum berhenti mencumbui hamparan Edelweis. Gerimis belum berhenti membasuh tubuh mereka. Dan gerimis mengiringi langkah mereka menyusuri jalan menuju Pondok Cisalada.

***

Di Pondok Cisalada

Tenda Dome warna biru muda milik Anto tampak basah dijilati gerimis. Namun suasana di dalamnya begitu hangat, disinari lampu gas. Ana duduk memeluk lutut di atas alas plastik. Di wajahnya masih terbersit kedukaan yang mendalam. Di belakangnya, Abuh sibuk menyalakan kompor gas kecil, masak air buat bikin susu cokelat sebagai penghangat tubuh. Sementara Anto berbaring menelentang, kedua tangannya disilangkan di belakang kepala sebagai ganjalan. Matanya menatap pusat tenda. Pikirannya mulai terberai, menyajikan masa lalu. Dan pandangannya mulai terhalang oleh kenangan yang datang mengusik. Anto tak mampu mencegahnya…..

Dalam tatapan Anto…..

“To! Kita berkemas! Kita turun sekarang!” ujar Agil.

“Masih terlalu pagi, Gil. Belum juga Subuh…..lagi pula masih gelap,” sergah Anto tanpa semangat.

“Aku mau buru-buru sampai di Jakarta!”

“Tumben. Nggak biasanya kamu seperti ini. Ada apa sih?” Anto menyelidik.

“Hari ini Ana ulang tahun, aku harus hadir nanti malam!” jelas Agil.

“Oooh…..! Cuma itu toh, aku kira kamu sudah nggak betah di sini.”

“Gimana? Kamu siap untuk berkemas?”

“Siap, Boss!”

“Sementara kamu berkemas, aku ke Padang Edelweis dulu,” Agil berkata sambil melangkah keluar tenda.

“Mau apa kamu ke sana?” Anto bertanya keheranan.

“Ada yang mau aku cari di sana,” jawab Agil sambil berlalu.

Anto berkemas dengan pikiran penuh tanda tanya. Mau apa sahabatnya ke sana? Apa yang dia cari di sana? Bukankah yang ada Cuma hamparan Edelweis? Atau ada yang tertinggal di sana? Entahlah, ia sama sekali tak tahu.

Selesai berkemas, Anto duduk di atas tanah menanti Agil. Ia memeluk lututnya, mencari kehangatan. Sweater hijau lumut yag dipakainya tak mampu menghalau hawa dingin yang menyengat.

Agil muncul dari kegelapan. Sorot redup lampu senter kecil dalam genggaman tangan kanannya samar menyinari langkah kakinya. “Sudah beres, To?” Agil langsung bertanya.

Anto tak menjawab. Matanya menjilati seluruh tubuh Agil. Ia terkejut saat tatapannya terbentur pada sesuatu yang berada dalam genggaman tangan kiri sahabatnya itu. “Apa yang ada dalam genggamanmu itu, Gil? Anto mencari tahu.

“Edelweis.”

“Edelweis?! Apa kamu sudah gila? Anto menarik nafas sejenak. “Kamu sudah berkhianat pada janji! Kamu sudah berkhianat pada alam, Gil!” lanjutnya setengah berteriak. Wajahnya menampakkan kebencian, karena sahabatnya yang dia anggap paling baik dan dekat yang sekarang ini berada di hadapannya, telah mengecewakannya. Agil telah memetik bunga itu. Bunga yang menurut mereka pantang untuk dipetik.

“Aku terpaksa, To. Ana memintaku untuk memetikkannya sebagai hadiah ulang tahunnya,” Agil menjelaskan.

“Apa kamu nggak bisa menolaknya?!”

“Untuk kali ini aku nggak bisa menolaknya, To. Aku sudah berjanji.”

“Berapa yang kau petik?”

“Delapanbelas.”

“Delapanbelas? Banyak sekali!”

“Sesuai dengan usia Ana, delapanbelas tahun.”

Anto terdiam. Dia bingung harus menyalahkan siapa? Andai saja Agil memberitahukan maksudnya ke Padang Edelweis, mungkin ia akan mencegahnya. Sayang, Agil tak memberitahunya. Anto pun berpikir; bagaimana jika dia mengalami hal yang sama seperti sahabatnya? Mungkin juga ia akan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Agil, sahabatnya. Dalam hatinya, ia menghapus kekecewaan terhadap Agil dan merelakan semua yang telah diperbuatnya.

“Bagaimana, To? Sudah siap berangkat?” Agil bertanya seraya tangannya mengikat kuntum-kuntum Edelweis dengan saputangan biru donkernya.

“Sudah. Aku sudah siap,” jawab Anto pelan.

“Kita berangkat sekarang!” ujar Agil sambil mengenakan ransel birunya. “Kita ambil jalan pintas melalui arah gunung Puntang!”

“Berarti…..kita lewat bibir kawah, Gil?”

“Yap!”

Berdua mereka melangkah dengan cepat menembus pagi yang masih terbalut kabut, meninggalkan Pondok Cisalada. Agil berada pada posisi depan, melangkah cepat. Tangannya erat menggenggam kuntum-kuntum Edelweis yang baru dipetiknya. Anto setengah berlari di belakangnya, mengimbangi langkah sahabatnya.

“Gil, sebentar lagi kita memasuki bibir kawah. Hati-hati, Gil! Kabut di sana cukup tebal!” setengah berteriak Anto memperingati sahabatnya. Ia berada lima langkah di belakang Agil. Langkahnya tak mampu mengimbangi langkah Agil, ia tertinggal.

“Ya, aku tahu, to!” jawab Agil tanpa mengurangi kecepatan langkahnya.

Mereka terus memacu langkah menembus kabut tebal. Kini mereka telah memasuki bibir kawah Papandayan.

“Gil! Kita sudah berada di bibir kawah, hati-hati, Gil!” Anto mengatur nafasnya sejenak. “Tanah di sini gembur, kurangi kecepatanmu, Gill! Anto kembali mengingatkan sahabatnya.

Tak ada sahutan. Agil tak menghiraukan peringatan sahabatnya. Langkahnya kian dipercepat. Sementara Anto yang berada di belakangnya, diliputi oleh ketidak-mengertian; mengapa Agil melangkah begitu cepat seperti ingin meninggalkannya? Mengapa Agil tak menghiraukan peringatannya? Ada apa dengan Agil? Tak biasanya ia seperti itu.

Tiba-tiba…..

“Aaaaaa…..!” jeritan panjang terdengar disertai dengan suara benturan pada bebatuan tebing kawah. Suara itu milik Agil. Agil terperosok. Kaki kanannya menginjak tanah gembur di bibir kawah. Ia tak mampu mengimbangi tubuhnya…..ia jatuh ke dasar kawah.

Anto mencari sumber suara itu. “Agil…..! Agiiiiil…..!” ia berteriak keras berulang-ulang, memanggil nama sahabatnya. Namun tak ada jawaban. Ia tak mendapatkan Agil. Ia hanya menemukan bekas injakan sepatu Agil di bibir kawah dan sekelompok kuntum Edelweis yang tadi digenggam sahabatnya, masih terikat saputangan biru donker.

Mungkinkah Agil jatuh? Hati Anto bertanya bimbang. Ia kembali berteriak memanggil nama sahabatnya, namun tak ada jawaban. Ia mengulangi kembali pangilannya, lagi-lagi ia tak mendapatkan jawaban. Benarkah Agil jatuh? Hatinya kembali bertanya. Atau ia meningalkannya? Nggak mungkin ia meninggalkanku!, bathinnya.

Anto merasa putus asa. Berkali-kali ia berteriak memanggil sahabatnya, namun tak ada jawaban. Dengan lunglai ia duduk di bibir kawah.

Mentari datang menyapa pagi. Cahayanya yang lembut menembus kabut yang mulai menipis. Anto masih duduk terpekur di bibir kawah. Matanya menatapi dasar kawah, berharap menemukan sosok sahabatnya.

Angin pagi yang berhembus dingin mengajak pergi kabut yang mengisi liang kawah. Cahaya mentari mulai leluasa menyinari dinding dan dasar kawah. Kini dasar kawah sudah nampak jelas terlihat oleh Anto. Namun, sosok Agil tak ia dapati, hanya ransel biru milik sahabatnya yang ia lihat tergeletak di dasar kawah. Di mana Agil? desisnya cemas.

Anto tetap duduk di bibir kawah. Matanya terus menatapi dasar kawah. Ia bertekad terus menanti, berharap Agil muncul di sana. Namun hingga matahari tepat berada di atas kepalanya, sosok sahabatnya tidak nampak juga. Mungkinkah Agil lenyap ditelan bumi? Jika tidak, di mana dia sekarang? Hati Anto dilanda pertanyaan-pertanyaan yang penuh teka-teki. Dengan berat hati, ia akhirnya memutuskan untuk kembali ke Jakarta sendirian. Ia ingin memberikan bunga Edelweis yang dipetik Agil kepada Ana, sebagai hadiah ulang tahunnya. Galau dalam hatinya mengiringi langkah kakinya menuruni Papandayan, kembali ke Jakarta.

Menjelang malam Anto tiba di muka rumah Ana. Ia mendapati Ana sedang duduk sendirian di teras rumah. Sepertinya ia sedang menanti seseorang.

Melihat ada yang datang, Ana bergegas menghampiri. “Kamu, To? Agil mana?” Ana menyambut dengan pertanyaan.

Anto terdiam. Lidahnya terasa kelu. Wajahnya tertunduk menatapi kuntum-kuntum Edelweis dalam genggamannya. Ia tak kuasa untuk mengatakan kejadian yang menimpa Agil.

“Agil kemana, To?” Ana mengulangi pertanyaannya. Anto tetap terdiam. “Agil kemana, To?” Ana kembali melontarkan pertanyaan seraya kedua tangannya mengguncang-guncangkan kedua bahu Anto.

“Agil tak bisa hadir, An” Anto menarik nafas sejenak. Ana melepas kedua tangannya dari bahu Anto. “Hanya ini yang dapat hadir,” Anto menyerahkan seikat kuntum-kuntum Edelweis kepada Ana dengan mata berkaca-kaca.

Ana menerima kuntum-kuntum itu dengan hati penuh tanda tanya. “Kemana dia, To?”

“Dia…..dia terperosok di kawah Papandayan dan lenyap, An,” Anto tak mampu lagi untuk menutupi hal yang sebenarnya terjadi pada Agil.

Bagai disambar petir Ana mendengar penuturan Anto. Seketika pandangannya menjadi gelap, kemudian jatuh tak sadarkan diri di hadapan Anto.

***

Anto mengusap muka. Membasuh kenangan yang mengerubutinya. Tatapannya kembali seperti semula pada pusat tenda. Kemudian bangkit untuk duduk.

Ana masih duduk memeluk lutut. Hatinya masih larut dalam kedukaan. Dan Abuh telah siap menyajikan tiga gelas susu cokelat panas buatannya.

“Ayo silakan diminum, kalian jangan bengong aja,” Abuh menawarkan.

“Terima kasih, Buh. Nanti saja kuminum, sekarang masih panas,” jawab Anto.

“Biar hangat dulu, Buh,” Ana menyambung kata-kata Anto.

“Terserah kalian, deh,” Abu berkata sambil meniupi susu cokelatnya agar panasnya berkurang.

“Kapan kita ke kawah, To?” Ana bertanya kepada Anto.

“Nanti, kalau gerimis sudah reda.”

“Habis dari kawah, kita langsung pulang, To?” Abuh ikut bertanya.

“Ya. Kalau gerimis berhenti kita langsung berkemas, lalu ke kawah dan setelah itu pulang!” jawab Anto disertai rencananya.

Hening. Tak ada kata-kata lagi. Hanya suara gerimis menetesi atap tenda yang terdengar. Udara dingin di luar tenda merasuki hati mereka.

Beberapa saat pun berlalu. Gerimis telah lelah membasuh bumi Papandayan, akhirnya ia berhenti. Ana dan kedua sahabatnya bergegas untuk berkemas. Merapihkan semua barang bawaannya dan memasukkannya ke dalam ransel masing-masing. Dalam sekejap mereka siap meninggalkan Pondok Cisalada.

***

Di bibir kawah Papandayan

Ana berdiri terpaku menatap dasar kawah. Tangannya memegang sebuah wadah berisi bunga-bunga yang menebarkan keharuman, siap ditebarkan ke dalam kawah sebagai suatu penghormatan dan pelepas kepergian kekasihnya. Sementara Anto dan Abuh sibuk menancapkan sebuah papan tanda di bibir kawah, tepat di mana Agil terperosok. Nama Agil tertera di sana.

Awan mulai berarak. Matahari tak menampakkan cahayanya. Kabut tipis perlahan memenuhi liang kawah. Alam menambah kedukaan mereka.

Dengan segenap duka dan sesal di hati, Ana menaburkan bunga ke dalam kawah. Bunga-bunga itu melayang menembus kabut, jatuh ke dasar kawah. “Maafkan aku, Gil,” suara dalam hatinya.

Tak lama berselang, dalam garis-garis kabut yang mulai menebal tiba-tiba muncul sesosok tubuh dengan perlahan dari dasar kawah. Sosok itu nampak berdiri menatap Ana dengan sorot mata yang teduh.

Samar-samar Ana melihat sosok itu. Hatinya terkejut. Sosok itu semakin jelas terlihat oleh kedua matanya, ia terkesiap. Wajahnya seketika memucat. Agil? bathinnya bertanya.

Sosok itu melambaikan tangannya. Bibirnya menyungging senyum. Ana yakin sosok itu adalah kekasihnya. Ia balas tersenyum seraya melambaikan tangan. Sementara kedua sahabatnya terkesima melihat sosok Agil berdiri di tengah kawah. Mulut mereka ternganga, namun tak mampu untuk mengeluarkan sepatah kata pun.

Hanyut oleh kerinduan yang mendalam, ingin rasanya Ana melangkahkan kakinya menghampiri sosok itu, memeluk dan menciuminya. Namun ia sadar, di depannya adalah sebuah kawah yang dalam dan tak mungkin dapat dilaluinya. Ia hanya mampu beteriak memanggil nama kekasihnya, “Agiiil…..!!!”

Jelas! Sosok itu adalah Agil, kekasihnya. Namun bukan Agil yang dulu lagi. Ia tak dapat berkumpul lagi bersama sahabat-sahabatnya. Ia menampakkan diri sesaat hanya untuk menandai sebuah perpisahan.

Kini, perlahan sosok itu turun menembus garis-garis kabut. Tangannya masih melambai dan senyumnya masih tersunging untuk Ana, kekasihnya, juga untuk kedua sahabatnya. Sosok itu kian tenggelam ke dasar kawah. Sedetik kemudian lenyap dari pandangan, terhalang kabut tebal yang memenuhi kawah.

Di bibir kawah, mereka bertiga masih berdiri menatapi dasar kawah yang terhalang kabut. Mata Ana nampak berkaca-kaca, memendam kesedihan. Begitu pula dengan kedua sahabatnya, mereka pun nampak sedih.

Ana mengusap mata. Ia menarik nafasnya dalam-dalam. Semua terasa bagai mimpi. Di sela keheningan ia berucap, “Maafkan aku, Gil. Aku berjanji akan sering mengunjungimu di sini.”

Mendengar ucapan Ana, kedua sahabatnya saling bertatapan sejenak. Kemudian tersenyum, tanpa arti.

“Sekarang kita pulang yuk!” ajak Ana kepada kedua sahabatnya. Anto dan Abuh mengangguk bareng.

1 komentar: