Rabu, 10 November 2010

KISAH SANG PETUALANG

Riyani Djangkaru

“Aku arungi seribu laut, aku daki sejuta gunung, demi satu KesempurnaanMu, tinggi diatas sana keagunganMu aku temui, di puncak-puncak dunia”

Anak pertama dari empat bersaudara ini mulai terkenal sejak menjadi presenter Jejak Petualang tayangan TV7 tahun 2002 – 2006. Riyanni semakin terkenal di pertengahan tahun 2005, karena virus dengan namanya menyebar dan menginfeksi banyak komputer.

Adalah seseorang yang bernama Riyani Djangkaru, lulusan Fakultas Hukum Universitas Pakuan Bogor ini sekarang masih bekerja di dunia pertelevisian meski tak lagi menjadi presenter “Jejak Petualang”. Riyanni terlihat di Trans 7 dalam “Redaksi Pagi” sebagai presenter “Jalan Pagi” serta Sportawa.

Awalnya wanita berdarah Garut dan Palembang ini ingin menjadi news presenter. Meski lowongan untuk presenter olahraga telah lewat, Riyanni tetap mengirimkan lamaran. Setelah menyisihkan ratusan orang, wanita dengan tinggi 168 cm ini pun didapuk menjadi presenter Jejak Petualang.

Riyanni menikah dengan Deni Priawan pada bulan Februari 2006. Dari pernikahan ini, mereka telah mempunyai seorang anak, Brahman Ahmad Syailendra.





She says :”adik-adiku yang manis!! calon penghuni hutan paling imut!”

Pekerjaan : Presenter Jalan Pagi Weekend (Sabtu-Minggu)
Hobby : Membaca dan Traveling
Favorit movie : Vertical Limit
Favorite TV Shows : Jejak Petualang – Selamat Pagi ( Trans 7)
Zodiac : Aquarius

Mengawali karir di dunia televisi. Jejak Petualang (JP) adalah sebuah program acara outdoor yang secara ekslusif menampilkan keanekaragaman budaya-alam Indonesia. Mendaki gunung (climbing), arung jeram (rafting) menyusuri gua terpencil (caving), menyelam (diving) dan mengikuti upacara adat, adalah suguhan utama dari JP ini.

She says :

“Pengenalan dan Penyatuan Jiwa dengan Alam adalah sebuah perjalanan paling berharga yang aku temui di Jejak Petualang” tuturnya dalam Fsnya.

Setelah TV7 ber-evolusi menjadi Trans7. JP mendapatkan porsi yang lebih banyak, dengan tayang setiap hari pukul 17:00 ( dahulu seminggu sekali). Karena kesibukan sebagai ibu rumah tangga baru. Aku tidak ikut lagi dalam petualangan di JP. tapi tetap didunia petualang. Jalan Pagi Weekend (Sabtu-Minggu) dalam salah satu segmen-nya.program wisata kota (rekreasi).. sedikit beda dengan JP, tapi lumayan mengurangi kerinduanku pada Jiwa Petualang …

____________________________________________________________



Soe Hok Gie

Soe Hok Gie dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942, adik dari sosiolog Arief Budiman. Catatan harian Gie sejak 4 Maret 1957 sampai dengan 8 Desember 1969 dibukukan tahun 1983 oleh LP3ES ke dalam sebuah buku yang berjudul Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran setebal 494 halaman. Gie meninggal di Gunung Semeru sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 — 16 Desember 1969 akibat gas beracun.

Setelah lulus dari SMA Kanisius Gie melanjutkan kuliah ke Universitas Indonesia tahun 1961. Di masa kuliah inilah Gie menjadi aktivis kemahasiswaan. Banyak yang meyakini gerakan Gie berpengaruh besar terhadap tumbangnya Soekarno dan termasuk orang pertama yang mengritik tajam rejim Orde Baru.

Gie sangat kecewa dengan sikap teman-teman seangkatannya yang di era demonstrasi tahun 66 mengritik dan mengutuk para pejabat pemerintah kemudian selepas mereka lulus berpihak ke sana dan lupa dengan visi dan misi perjuangan angkatan 66. Gie memang bersikap oposisif dan sulit untuk diajak kompromi dengan oposisinya.

Selain itu juga Gie ikut mendirikan Mapala UI. Salah satu kegiatan pentingnya adalah naik gunung. Pada saat memimpin pendakian gunung Slamet 3.442m, ia mengutip Walt Whitman dalam catatan hariannya, “Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth”.

Pemikiran dan sepak terjangnya tercatat dalam catatan hariannya. Pikiran-pikirannya tentang kemanusiaan, tentang hidup, cinta dan juga kematian. Tahun 1968 Gie sempat berkunjung ke Amerika dan Australia, dan piringan hitam favoritnya Joan Baez disita di bandara Sydney karena dianggap anti-war dan komunis. Tahun 1969 Gie lulus dan meneruskan menjadi dosen di almamaternya.

Bersama Mapala UI Gie berencana menaklukkan Gunung Semeru yang tingginya 3.676m. Sewaktu Mapala mencari pendanaan, banyak yang bertanya kenapa naik gunung dan Gie berkata kepada teman-temannya:

“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”

8 Desember sebelum Gie berangkat sempat menuliskan catatannya: “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.” Selanjutnya catatan selama ke Gunung Semeru lenyap bersamaan dengan meninggalnya Gie di puncak gunung tersebut.

24 Desember 1969 Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang. Tahun 1975 Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober sehingga harus dipindahkan lagi, namun keluarganya menolak dan teman-temannya sempat ingat bahwa jika dia meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung. Dengan pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan abunya disebar di puncak Gunung Pangrango.

Beberapa quote yang diambil dari catatan hariannya Gie:

“Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”

“Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”

“Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan…”

Selain Catatan Seorang Demonstran, buku lain yang ditulis Soe Hok Gie adalah Zaman Peralihan, Di Bawah Lentera Merah (yang ini saya belum punya) dan Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan serta riset ilmiah DR. John Maxwell Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani.

Tahun depan Mira Lesmana dan Riri Reza bersama Miles Production akan meluncurkan film berjudul “Gie” yang akan diperankan oleh Nicholas Saputra, Sita Nursanti, Wulan Guritno, Lukman Sardi dan Thomas Nawilis. Saat ini sudah memasuki tahap pasca produksi.

John Maxwell berkomentar, “Gie hanya seorang mahasiswa dengan latar belakang yang tidak terlalu hebat. Tapi dia punya kemauan melibatkan diri dalam pergerakan. Dia selalu ingin tahu apa yang terjadi dengan bangsanya. Walaupun meninggal dalam usia muda, dia meninggalkan banyak tulisan. Di antaranya berupa catatan harian dan artikel yang dipublikasikan di koran-koran nasional” ujarnya. “Saya diwawancarai Mira Lesmana (produser Gie) dan Riri Reza (sutradara). Dia datang setelah membaca buku saya. Saya berharap film itu akan sukses. Sebab, jika itu terjadi, orang akan lebih mengenal Soe Hok Gie” tuturnya.

Sebuah Tanya

“akhirnya semua akan tiba
pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
apakah kau masih berbicara selembut dahulu?
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku”

(kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah mendala wangi
kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin)

“apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat”

(lampu-lampu berkelipan di jakarta yang sepi, kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya. kau dan aku berbicara. tanpa kata, tanpa suara ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita)

“apakah kau masih akan berkata, kudengar derap jantungmu. kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta?”

(haripun menjadi malam, kulihat semuanya menjadi muram. wajah2 yang tidak kita kenal berbicara dalam bahasa yang tidak kita mengerti. seperti kabut pagi itu)

“manisku, aku akan jalan terus
membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
bersama hidup yang begitu biru”
___________________________________________________________




Bagus Dwi In Memoriam (060606-060608)















Tak banyak yang menganggap peristiwa ini penting. Hingga tersiar kabar lenyapnya seorang juru kamera dan dua orang awak kapal ditelan amukan badai di Perairan Arafuru, barulah peristiwa ini menjadi demikian menyita perhatian khalayak. Genap dua tahun Bagus Dwi dinyatakan hilang, sejak gempuran cuaca yang tak bersahabat pada Ekspedisi Papua 2006 silam. Tak ada yang tahu dimanakah kini sahabat kita tercinta itu berada. Hanya kuasa Tuhan yang dapat menguak tabir misterius dibalik hilangnya Bagus Dwi saat menjalankan tugas terbaiknya itu.


Tiba di bumi cendrawasih

Hari itu—Sabtu, 29 April 2006. Sesaat sebelum landing, dari ketinggian beribu-ribu kaki dapat kusaksikan gugusan pulau-pulau kecil yang berjejer di sepanjang pesisir. Tak kulewatkan pula pemandangan pasir-pasir putih yang mengilat di sepanjang bibir pantai. Hingga akhirnya Merpati itu menggilas bumi, menghentikan kepakan sayapnya, hingga yang tampak bukan lagi gugusan pulau dan kilatan pasir, melainkan sebuah bangunan yang disebut-sebut sebagai bandara.Kemudian mulut pintu pesawat menganga, memuntahkan kami dari dalam perutnya. Pagi itu langit seperti tak punya alasan untuk menghunuskan kelabunya pada bumi. Tak ada awan pekat yang bergelayut. Cerahnya langit dan hangatnya mentari pagi menyambut kedatangan kami di Bandara Domine Eduard Osok, Kota Sorong, Papua.

Adalah Raja Ampat, sebuah kepulauan yang tersohor di Papua karena keindahan alam bawah lautnya. Tentu kami tidak ingin berhenti saja pada wacana bahwa Raja Ampat memiliki khazanah yang indahnya sulit dilukiskan kata-kata. Maka kamipun bergegas menuju ke surga para penyelam itu dengan menggunakan perahu phinisi dari pelabuhan Sorong. Pemiliknya menamai perahunya itu Nur Alif.

Seperti namanya, phinisi itu bak pelita yang bersinar di tengah samudra kala langit menghunjamkan pekatnya pada bumi. Satu-satunya cahaya yang berpendar di perairan Raja Ampat di malam hari adalah phinisi kami, yang sekaligus merupakan tempat kami bernaung selama 20 hari lamanya.

Sungguh tidak terpikirkan sebelumnya, aku dapat menjadi bagian dari sebuah ekspedisi yang menggiringku hingga kesini, ke sebuah peradaban dimana manusia-manusianya dikukuhkan oleh kultur yang eksotik. Suku-suku pedalaman yang masih memegang teguh tradisi warisan leluhur, membuat ranah koteka ini menyerupai cagar budaya yang tak lekang oleh waktu. Juga kekayaan flora dan faunanya yang merupakan kombinasi antara jenis tumbuhan dan hewan dari benua asia dan benua australia, ini adalah keaneka ragaman hayati yang nyata-nyata telah memperkaya nusantara raya kita. Sungguh membukakan mata, telinga dan hati, bahwa Indonesia kita ini begitu kaya akan pesona.

Kepulauan Raja Ampat

Kepulauan Raja Ampat terdiri dari empat pulau-pulau kecil, yaitu Waigeo, Batanta, Salawati dan Misool. Dari pulau-pulau inilah nuansa bahari yang begitu kental menyeruak hingga ke telinga para penyelam di berbagai belahan dunia, membuat mereka tak mau menunggu lebih lama lagi untuk menyambangi alam bawah laut di kepulauan ini. Tak terkecuali kami, tim Ekspedisi Papua pun akan segera menyelami kemolekkan alam bawah laut Raja Ampat. Pada momentum itu, Mas Bagus (begitu sapaan untuk Bagus Dwi) masih bersama-sama dengan kami. Ia sama antusiasnya dengan kami karena akan melakukan penyelaman kami yang pertama di Raja Ampat. Kami berada dekat sekali dengan sekelompok karang-karang hidup, sekawanan pigmy seahorses dan berenang beriringan dengan ular laut (laticauda collubrina) yang sangat mengesankan, membuat kami ingin meneriakkan eureka!

Subhanallah…

Ke tiga tim ekspedisi Papua beberapa kali memisahkan diri dari perahu phinisi, karena objek liputan kami berbeda-beda. Aku dengan tim Petualangan Liar lebih memfokuskan liputan pada interaksi dengan satwa. Petualangan Bahari berkapasitas untuk melakukan lebih banyak penyelaman karena tuntutan konsep acara untuk mengeksplorasi kekayaan laut. Sedangkan tim Jejak Petualang yang menyuguhkan tayangan ragam budaya Indonesia, memilih untuk meliput prosesi ritual tradisi dan yang serupa dengan itu. Hingga akhirnya, 20 hari sudah kami tuntaskan petualangan kami di Raja Ampat, untuk kemudian bergegas ke berbagai daerah yang terbentang luas di Papua lainnya [yang tak kalah menarik dari Raja Ampat].

Hari Ke-40 di Ranah Koteka

Singkat cerita, saat itu adalah saat-saat yang paling menegangkan. Masing –masing dari kami telah dirundung kelelahan dan berada di puncak kejenuhan yang tertinggi karena telah sampai di hari ke 40 dari 50 hari peliputan yang direncanakan. Jiwa-jiwa kami telah terbawa ke pulau-pulau tak berpenghuni, beradaptasi dengan kultur yang sama sekali berbeda, berinteraksi dengan satwa-satwa liar yang sulit dijinakkan dan bergelut dengan alam yang kadang tak bersahabat. Kini aku mengerti, bahwa dalam keadaan kami yang lelah , saat itulah semangat kami diuji secara besar-besaran, tanggung jawab yang diberikan pada kami menjadi satu-satunya penabuh genderang semangat di kala letih mejalari tubuh-tubuh kami. Saat itu saya dan tim Petualangan Liar sedang berada di Taman Nasional Wasur yang terletak di utara Merauke. Wilayah konservasi ini merupakan habitat kangguru-kangguru liar, tumbuhan kantung semar, rumah semut, ular berkaki empat, kadal tak berkaki dan kadal bengkarung. Tak ada jalan pintas untuk keluar dari sini menuju pulau yang berpenghuni, tak kurang dari 4 jam melintasi rawa dan muara, perjalanan air pun hanya dapat ditempuh dengan menggunakan kano-kano berukuran sangat kecil.

Hingga akhirnya, aku dan tim Petualangan Liar tiba di sebuah perkampungan. Kami disambut oleh tentara yang berjaga-jaga di wilayah perbatasan Papua-Indonesia dan Papua-New Guinea itu. Sosok gagah berani itu menyodorkan secarik kertas yang berisikan berita duka. Sontak jiwa-jiwa kami terkoyak oleh pemberitaan itu, bahwa teman-teman kami dari tim Jejak Petualang dinyatakan hilang di Perairan Arafuru ketika akan menyambangi Timika (melalui Agats). Tim JP terdiri dari 4 orang, Dody (Produser), Medina (Presenter), Budhi dan Bagus (Kameraman).

Tak hanya itu, bahkan timku (Petualangan Liar) pun sempat diberitakan hilang karena sulit dideteksi keberadaannya selama 5 hari peliputan di Merauke kemarin. Sementara itu, tim Petualangan Bahari yang mengalami kesulitan tersendiri di Teluk Cendrawasihpun dikabarkan serupa oleh media. Ya, apapun itu, bagaimanapun kondisinya…kami semua memang didera persoalan yang sama, dirundung lelah, serta disorientasi ruang dan waktu.

Aku bersama tim Petualangan Liar yang terdiri dari Mul (Produser), Ulung (temanku sesama Presenter), Denis dan Yoga (kameraman), Muji dan Gundul (Pawang Ular) lantas terkulai usai menerima kabar itu. Tak ada yang dapat kami perbuat selain menunggu. Menunggu kabar selanjutnya dari kantor tempat kami bernaung di Jakarta.

Ada semburat tanda tanya yang urung menggeliat di benak kami. Masing-masing dari kami sibuk memetakan apa yang sebenarnya terjadi dengan Ekspedisi ini. Mengapa demikian limbungnya kami setelah pemberitaan itu, belum lagi kami sibuk memprediksikan kekhawatiran sanak keluarga kami nun jauh di kampung halaman. Pastilah perasaan teman dan keluarga kami itu carut marut tak karuan memikirkan keadaan kami disini.

Untuk mengurangi rasa khawatir, kamipun bergantian menggunakan telepon satelit untuk mengabari sanak keluarga kami. Ibu dan ayahku! adalah orang-orang yang kukabari pertama kali di saat genting itu, suaranya gemetar menandakan panik yang tak terperi, karena mendapati putrinya terjebak di situasi yang demikian sulit. Namun telah kupastikan, bahwa keadaanku disini Alhamdulillah masih berada di bawah lindungan Allah.

Kembali ke Jakarta

Saat menginjakkan kaki kembali di Jakarta, kami menghitung keseluruhan jumlah awak Ekspedisi. Jika waktu itu kami berangkat dengan semangat yang berapi-api dengan jumlah keseluruhan 22 0rang. Kini kami kembali dengan redup dengan jumlah awak ekspedisi yang hanya tinggal 21 orang. Kemanakah satu jiwa yang tak lagi menggenapkan jumlah kami ini? Kini hitungan kami ganjil adanya. Ya, Hanya 21 orang. Bagus Dwi telah hilang seiring dengan hilangnya dua awak kapal sesaat setelah badai itu menerjang perairan Arafuru. Jejak Petualang kini telah kehilangan satu sosok jiwa yang berdedikasi tinggi. Ia seperti pahlawan bagi kami, detik-detik terakhirnya ia masih saja memegang tanggung jawabnya sebagai juru kamera handal. Ia ditelan amukan badai bersama kamera dan dua orang awak kapal. Yang tak kalah tegar adalah teman-temanku dalam tim JP yang mampu bertahan hidup di Pulau Tiga (pulau yang mereka singgahi saat terdampar). Juga tim Petualangan Bahari, yang terdiri dari Wahyu (Produser), Mira (Ass-Prod), WDT dan Bayu (Kameraman), serta Septia dan Gina (Presenter) yang telah sanggup melawan semua rasa takut dan lelah di Teluk Cendrawasih.

Sungguh ini merupakan perjalanan yang tak kan kulupakan, akan terpatri dalam benak dan kuresapi dengan segala kedalaman maknanya.

Bagus Dwi hingga kini tak diketahui keberadaannya, pencarian atas dirinyapun telah lama dihentikan. Namun doa serta harapan kami tak terputus sampai disini. Kami senantiasa selalu berdoa untuk KESELAMATANMU, Mas…

Nama Bagus Dwi akan tetap berurat akar dalam jiwa-jiwa kami, untuk segenap PETUALANGAN kami…untuk langkah kami yang ‘kan terus menderap bumi…untuk nusantara kita yang luas tak terperi…untuk khatulistiwa kita yang tak kan habis dijelajahi…

Selamat jalan Bagus Dwi… [06-06-06] – [06-06-08]

____________________________________________________________



Sir Edmund Hillary dan Tenzing Norgay

Semua pendaki besar dunia mengakui, bahwa orang yang paling layak menjadi orang pertama yang mencapai puncak dunia adalah Tenzing Norgay. Pada tanggal 29 Mei 1953 jam 11.30

Sejarah mencatat Tenzing Norgay sebagai orang kedua yang menaklukan puncak dunia setelah Edmund Hillary. Sebuah prestasi ini menghantarkan Edmun Hillary mendapatkan gelar Kebangsawanan dari Ratu Inggris Sesaat setelah Sir Edmund Hillary bersama Tenzing Norgay kembali dari puncak Mount Everest, hampir semua reporter dunia berebut mewawancarai Sir Edmund Hillary, dan hanya ada satu reporter yang mewawancarai Tenzing Norgay, berikut cuplikannya:

Reporter : Bagaimana perasaan Anda dengan keberhasilan menaklukkan puncak gunung tertinggi di dunia?

Tenzing Norgay : Senang sekali

Reporter : Andakan seorang Sherpa (pemandu) bagi Edmund Hillary, tentunya posisi Anda berada di depan dia, bukankah seharusnya Anda yang menjadi orang pertama yang menjejakkan kaki di puncak Mount Everest ?

Tenzing Norgay : Ya, benar sekali, pada saat tinggal satu langkah mencapai puncak, saya persilakan dia (Edmund Hillary) untuk menjejakkan kakinya dan menjadi orang pertama di dunia yang berhasil menaklukkan Puncak Gunung Tertinggi di dunia.

Reporter : Mengapa Anda lakukan itu?

Tenzing Norgay, "Karena itulah impian Edmund Hillary, bukan impian saya. Impian saya hanyalah berhasil membantu dan mengantarkan dia meraih impiannya".

Sukses
Cuplikan kisah tersebut adalah "dongeng" wajib bagi petualang alam liar profesional dimanapun di dunia ini. Kisah itu selalu menjadi inspirasi keteguhan hati, komitmen, ketulusan kasih dan rasa hormat yang tinggi kepada jalan profesi demi sebuah sukses.

Sukses adalah sebuah proses, bukan tujuan. Tercapainya sebuah keinginan adalah salah satu dari proses itu sendiri. Menjadi nomor satu adalah impian semua orang, konon berada diatas adalah sorga yang paling menyenangkan. Kompetisi terjadi sejak manusia meninggalkan rahim ibunya. Ketika genderang perlombaan menuju puncak ditabuh, semua orang berusaha menapaki jenjang karirnya untuk mencapai puncak kesuksesan.

Semua modal dan perlengkapan dipersiapkan, dari bekal pendidikan, rangkuman pengalaman, koneksi dan permainan perpolitikan kantor, sejumlah uang hingga berbagai hal irasional mengikutinya. Pertanyaannya adalah, apakah semua orang harus menduduki posisi puncak? Lalu kapan seseorang harus meninggalkan posisi itu untuk digantikan oleh seseorang yang lain? Jika seseorang tidak sampai posisi puncak, apakah berarti gagal?

Pemimpin
Pemimpin apa? Apakah pemimpin secara struktural dengan sebutan jabatan manajer, direktur, presiden komisaris atau CEO? Atau kepemimpinan "terselubung" yang sukses "memimpin" orang-orang lain termasuk memimpin sang pemimpin demi tercapainya sebuah tujuan? Dalam keyakinan saya, kepemimpinan sejati bukanlah karena kita menduduki jabatan pemimpin dan bisa mengendalikan bawahan.

Itu hal biasa yang tidak istimewa. Karena semua bawahan pada dasarnya akan patuh dan hormat kepada atasannya. Kepemimpinan sejati yang saya yakini adalah saat kita mampu dan bisa mengendalikan siapapun termasuk orang-orang yang menduduki jabatan di atas posisi formal kita. Disinilah potensi jiwa kepemimpinan ditantang.

Keunggulan dari jiwa ini adalah kemampuan pengendalian diri untuk tidak selalu harus muncul dan terkenal. Kemenangan kepemimpinan seperti inilah yang saya sebut sebagai kemenangan absolut.

Biarlah orang lain sekadar merasa menang tetapi kemangan sejati adalah milik seseorang yang berhasil menciptakan orang lain untuk mencapai kemenangan itu sendiri. Seperti kemenangan seorang Tenzing Norgay.

Pemimpin yang bisa menciptakan sebuah perintah sebagai ide "milik" bawahan, adalah pemimpin yang hebat. Ia menyadari benar bahwa bawahan memerlukan pengakuan dan ia tidak sangat perlu, karena ia dan orang-orang tahu bahwa ia adalah pemimpin yang sebenarya.

Mengendalikan pemimpin
Mengendalikan pemimpin adalah sebuah seni agar pemimpin formal kita mengikuti kehendak-kehendak kita. Ini adalah seni perang yang sangat indah. Hanya pejuang-pejuang sejati yang bisa mengerjakannya dengan baik.
Seni mengendalikan ini sangat mengasyikan, karena lawan yang kita hadapi bukanlah diri si pemimipin tetapi diri kita sendiri.

Kita harus mampu menguasai diri untuk logowo menjadi orang pada urutan kesekian, lalu kita harus menyampaikan semua "perintah" itu dengan halus dan menghindari pola-pola instruktif.

Yang paling pertama harus diyakini adalah bahwa semua gemerlap sukses adalah hak si pemimpin formal. Sukses kita adalah sukses pemimpin. Relakan itu terjadi. Jika kita tidak pernah rela dengan hal itu, simpanlah itu rapat-rapat dalam hati sampai tiba waktunya kita berkesempatan menjadi pemimpin formal itu sendiri.

Yang kedua, pahami mental dan karakter pemimpin formal itu, sehingga kita bisa dengan mudah "mengendalikannya" . Yang ketiga, harus diingat bahwa pemimpin juga manusia biasa yang pasti punya kelemahan. Untuk itu cara yang paling efektif mengendalikan pemimpin adalah dengan "meringankan" beban kepemimpinannya.

Yang keempat, berlakukan secara aktif. Jangan tunggu pemimpin memerintahkan sesuatu yang rutin kepada kita. Kerjakan hal itu sebelum si pemimpin meminta.

Jika ada perintah untuk menyelesaikan suatu permasalahan, berikan ia beberapa pilihan penyelesaian. Biarkan seoalah-olah dia yang menentukan keputusan, karena kita tahu bahwa keputusan apapun itu adalah salah satu dari yang kita usulkan.

Memberikan satu pilihan penyelesaian kepada atasan sangatlah berbahaya, karena ia akan berfikir lagi dan itu akan berakibat kepada penyelesaian yang berkepanjangan. Ingat, memilih lebih mudah daripada berfikir.

Yang kelima, ingatlah benar-benar, pemimpin mempekerjakan kita untuk memudahkan pekerjaannya bukan membayar kita agar kita menyuruh dia selalu marah-marah memperingatkan kita.

Pemimpin sukses
Pemimpin sukses adalah pemimpin yang bisa membawa lembaga dan pengikutnya mencapai tujuan bersama serta mampu menciptakan pemimpin-pemimpin berikutnya. Pemimpin yang tidak memiliki pemimpin-pemimpin lanjutan adalah pemimpin yang egois dan ia tidak pernah benar-benar menikmati kesuksesan sejati.

Pemimpin sukses adalah orang-orang yang menyadari bahwa ada "pemimpin" lain yang membawanya menuju posisi puncak tersebut. Dunia menghormati Sir Edmund Hillary karena ketekunannya mewujudkan impian menjadi orang nomor satu, Sir Edmund Hillary menghormati Tenzing Norgay karena dengan tulus membantunya untuk menjadi orang nomor satu.

Ketika orang-orang bertanya, kenapa dia memberi kesempatan Edmund Hillary untuk menjadi orang pertama? Dengan rendah hati dia menjawab: "If it is a shame to be the second man on Mount Everest, then I will have to live with this shame."
Semua pendaki besar dunia mengakui, bahwa orang yang paling layak menjadi orang pertama yang mencapai puncak dunia adalah Tenzing Norgay. Pada tanggal 29 Mei 1953 jam 11.30

Sejarah mencatat Tenzing Norgay sebagai orang kedua yang menaklukan puncak dunia setelah Edmund Hillary. Sebuah prestasi ini menghantarkan Edmun Hillary mendapatkan gelar Kebangsawanan dari Ratu Inggris Sesaat setelah Sir Edmund Hillary bersama Tenzing Norgay kembali dari puncak Mount Everest, hampir semua reporter dunia berebut mewawancarai Sir Edmund Hillary, dan hanya ada satu reporter yang mewawancarai Tenzing Norgay, berikut cuplikannya:

Reporter : Bagaimana perasaan Anda dengan keberhasilan menaklukkan puncak gunung tertinggi di dunia?

Tenzing Norgay : Senang sekali

Reporter : Andakan seorang Sherpa (pemandu) bagi Edmund Hillary, tentunya posisi Anda berada di depan dia, bukankah seharusnya Anda yang menjadi orang pertama yang menjejakkan kaki di puncak Mount Everest ?

Tenzing Norgay : Ya, benar sekali, pada saat tinggal satu langkah mencapai puncak, saya persilakan dia (Edmund Hillary) untuk menjejakkan kakinya dan menjadi orang pertama di dunia yang berhasil menaklukkan Puncak Gunung Tertinggi di dunia.

Reporter : Mengapa Anda lakukan itu?

Tenzing Norgay, "Karena itulah impian Edmund Hillary, bukan impian saya. Impian saya hanyalah berhasil membantu dan mengantarkan dia meraih impiannya".

Sukses
Cuplikan kisah tersebut adalah "dongeng" wajib bagi petualang alam liar profesional dimanapun di dunia ini. Kisah itu selalu menjadi inspirasi keteguhan hati, komitmen, ketulusan kasih dan rasa hormat yang tinggi kepada jalan profesi demi sebuah sukses.

Sukses adalah sebuah proses, bukan tujuan. Tercapainya sebuah keinginan adalah salah satu dari proses itu sendiri. Menjadi nomor satu adalah impian semua orang, konon berada diatas adalah sorga yang paling menyenangkan. Kompetisi terjadi sejak manusia meninggalkan rahim ibunya. Ketika genderang perlombaan menuju puncak ditabuh, semua orang berusaha menapaki jenjang karirnya untuk mencapai puncak kesuksesan.

Semua modal dan perlengkapan dipersiapkan, dari bekal pendidikan, rangkuman pengalaman, koneksi dan permainan perpolitikan kantor, sejumlah uang hingga berbagai hal irasional mengikutinya. Pertanyaannya adalah, apakah semua orang harus menduduki posisi puncak? Lalu kapan seseorang harus meninggalkan posisi itu untuk digantikan oleh seseorang yang lain? Jika seseorang tidak sampai posisi puncak, apakah berarti gagal?

Pemimpin
Pemimpin apa? Apakah pemimpin secara struktural dengan sebutan jabatan manajer, direktur, presiden komisaris atau CEO? Atau kepemimpinan "terselubung" yang sukses "memimpin" orang-orang lain termasuk memimpin sang pemimpin demi tercapainya sebuah tujuan? Dalam keyakinan saya, kepemimpinan sejati bukanlah karena kita menduduki jabatan pemimpin dan bisa mengendalikan bawahan.

Itu hal biasa yang tidak istimewa. Karena semua bawahan pada dasarnya akan patuh dan hormat kepada atasannya. Kepemimpinan sejati yang saya yakini adalah saat kita mampu dan bisa mengendalikan siapapun termasuk orang-orang yang menduduki jabatan di atas posisi formal kita. Disinilah potensi jiwa kepemimpinan ditantang.

Keunggulan dari jiwa ini adalah kemampuan pengendalian diri untuk tidak selalu harus muncul dan terkenal. Kemenangan kepemimpinan seperti inilah yang saya sebut sebagai kemenangan absolut.

Biarlah orang lain sekadar merasa menang tetapi kemangan sejati adalah milik seseorang yang berhasil menciptakan orang lain untuk mencapai kemenangan itu sendiri. Seperti kemenangan seorang Tenzing Norgay.

Pemimpin yang bisa menciptakan sebuah perintah sebagai ide "milik" bawahan, adalah pemimpin yang hebat. Ia menyadari benar bahwa bawahan memerlukan pengakuan dan ia tidak sangat perlu, karena ia dan orang-orang tahu bahwa ia adalah pemimpin yang sebenarya.

Mengendalikan pemimpin
Mengendalikan pemimpin adalah sebuah seni agar pemimpin formal kita mengikuti kehendak-kehendak kita. Ini adalah seni perang yang sangat indah. Hanya pejuang-pejuang sejati yang bisa mengerjakannya dengan baik.
Seni mengendalikan ini sangat mengasyikan, karena lawan yang kita hadapi bukanlah diri si pemimipin tetapi diri kita sendiri.

Kita harus mampu menguasai diri untuk logowo menjadi orang pada urutan kesekian, lalu kita harus menyampaikan semua "perintah" itu dengan halus dan menghindari pola-pola instruktif.

Yang paling pertama harus diyakini adalah bahwa semua gemerlap sukses adalah hak si pemimpin formal. Sukses kita adalah sukses pemimpin. Relakan itu terjadi. Jika kita tidak pernah rela dengan hal itu, simpanlah itu rapat-rapat dalam hati sampai tiba waktunya kita berkesempatan menjadi pemimpin formal itu sendiri.

Yang kedua, pahami mental dan karakter pemimpin formal itu, sehingga kita bisa dengan mudah "mengendalikannya" . Yang ketiga, harus diingat bahwa pemimpin juga manusia biasa yang pasti punya kelemahan. Untuk itu cara yang paling efektif mengendalikan pemimpin adalah dengan "meringankan" beban kepemimpinannya.

Yang keempat, berlakukan secara aktif. Jangan tunggu pemimpin memerintahkan sesuatu yang rutin kepada kita. Kerjakan hal itu sebelum si pemimpin meminta.

Jika ada perintah untuk menyelesaikan suatu permasalahan, berikan ia beberapa pilihan penyelesaian. Biarkan seoalah-olah dia yang menentukan keputusan, karena kita tahu bahwa keputusan apapun itu adalah salah satu dari yang kita usulkan.

Memberikan satu pilihan penyelesaian kepada atasan sangatlah berbahaya, karena ia akan berfikir lagi dan itu akan berakibat kepada penyelesaian yang berkepanjangan. Ingat, memilih lebih mudah daripada berfikir.

Yang kelima, ingatlah benar-benar, pemimpin mempekerjakan kita untuk memudahkan pekerjaannya bukan membayar kita agar kita menyuruh dia selalu marah-marah memperingatkan kita.

Pemimpin sukses
Pemimpin sukses adalah pemimpin yang bisa membawa lembaga dan pengikutnya mencapai tujuan bersama serta mampu menciptakan pemimpin-pemimpin berikutnya. Pemimpin yang tidak memiliki pemimpin-pemimpin lanjutan adalah pemimpin yang egois dan ia tidak pernah benar-benar menikmati kesuksesan sejati.

Pemimpin sukses adalah orang-orang yang menyadari bahwa ada "pemimpin" lain yang membawanya menuju posisi puncak tersebut. Dunia menghormati Sir Edmund Hillary karena ketekunannya mewujudkan impian menjadi orang nomor satu, Sir Edmund Hillary menghormati Tenzing Norgay karena dengan tulus membantunya untuk menjadi orang nomor satu.

Ketika orang-orang bertanya, kenapa dia memberi kesempatan Edmund Hillary untuk menjadi orang pertama? Dengan rendah hati dia menjawab: "If it is a shame to be the second man on Mount Everest, then I will have to live with this shame."
____________________________________________________________




Tata Mandong ( Lembah Ramma)

Berdiam di Lembah Ramma, tempat yang jauh dari desa terakhir di kaki gunung, Desa Lembanna. Mencapai Lembah Ramma dari Lembanna, hanya bisa dilakukan dengan berjalan kaki, selama kurang lebih lima jam. Medan jalur yang dilalui boleh dikata sangat berat, sempit dengan apitan pepohonan pinus di kedua sisinya. Tempat terpencil itu sebuah lembah yang dikelilingi bukit dan jejeran puncak-puncak Gunung Bawakaraeng.

Namanya Tata Mandong. Berusia kurang lebih 50 tahun. Dalam 30 tahun terakhir, ia telah mendedikasikan hidupnya menjaga kelestarian alam Gunung Bawakaraeng. Setiap hari Tata Mandong melakukan aktivitas menanam bibit pohon di kawasan-kawasan curam gunung purba itu. Bibit pohon yang ditanamnya, antara lain Mahoni, Jati, dan pohon-pohon jenis keras lainnya. Sebelum ditanam, bibit-bibit itu disemai di sekitar rumahnya. Tata Mandong tak ingat persis berapa jumlah bibit yang sudah ditanamnya. Namun, ia menyebutkan kisaran ribuan batang pohon.

Sebagai bentuk balasan dari hasil jerih payahnya ini, ia mendapat honor dari Dinas Kehutanan Kabupaten Gowa, sebesar Rp150.000 per bulan. Jumlah itu tentu saja tak mencukupi. Namun menurut pengakuan Tata Mandong, untuk kebutuhan hidupnya, seperti pakaian dan makanan, seringkali diberikan oleh para pendaki yang kebetulan singgah bermalam di rumahnya. Namun jika kebutuhannya sangat mendesak, sekali dalam sepekan, Daeng Mandong pergi berbelanja ke pasar Malino.

Selain menanam bibit pohon, ia menghabiskan malam harinya dengan bercengkrama bersama para pendaki, yang kebanyakan berasal dari kelompok-kelompok pecinta alam. Ia seringkali memberi nasihatnya kepada para anak-anak muda itu, agar tetap menjaga kebersihan lingkungan dan sikap diri, selama melakukan pendakian.

Di pagi hari, sebelum menyemai bibit-bibit pohonnya, Tata Mandong memiliki kebiasaan naik ke puncak Talung, daratan tertinggi di lembah Ramma. Dari situ, ia memperhatikan jejeran puncak gunung untuk melihat gejala alam yang terjadi. “Dari Talung, kita bisa lihat hampir semua bekas longsoran Bawakaraeng. Kita juga bisa lihat arah longsoran itu,” ujarnya.

Tata Mandong mengatakan, dirinya tak akan pernah lupa peristiwa longsor di hari Jumat sekitar pukul 14.00 wita, 26 Maret 2004 lalu. Ratusan warga Kampung Lengkese, Desa Manimbahoi, Kecamatan Tinggimoncong, Malino sedang bertani di sawahnya. 32 orang di antaranya tewas tertimbun. Reruntuhan lumpur itu juga menerjang ratusan hektar sawah, rumah serta gedung sekolah.

Saat itu, warga Kampung Lengkese baru saja usai menunaikan shalat Jumat. Sebagian besar laki-laki langsung ke sawah sepulangnya ke rumah. Sebagian lainnya membawa ternak sapi merumput dan sebagian beristirahat atau makan siang lebih dulu di rumah. Menggarap sawah sangat dirindukan warga. Maklum, sekitar dua minggu hujan lebat turun. Karena itu, Jumat yang cerah itu tak ingin mereka sia-siakan, apalagi tanaman padi mereka menjelang panen.

Tak satu pun menduga bahwa sebentar lagi kampung, sawah, kebun, ternak, bahkan keluarga yang mereka cintai dan diri mereka sendiri bakal tertimpa tanah longsor. Tak ada tanda-tanda awal yang biasanya diisyaratkan alam. Ada sedikit tanda, berupa tanah berjatuhan sedikit-sedikit dari tebing, tetapi belum sempat terbaca. Bahkan berselisih hitungan menit sebelum akhirnya kaki hingga sebagian dinding Gunung Bawakaraeng runtuh dan meluluhlantakkan semuanya.

Desa Manimbahoi berada di ngarai, tepat di kaki Gunung Bawakareang, dan di sisi kiri dan kanan hulu Sungai Jeneberang. Menurut Tata Mandong, ia merasa sedih, karena tak mampu dengan cepat memberitahu warga desa. Gerakan cepat kakinya menuju Desa Manimbahoi, dipotong oleh derasnya longsor yang memiliki panjang 30 kilometer dan ketebalan hingga 400 meter itu. Sebelum peritiwa itu terjadi, ia mendengar suara ledakan yang sangat keras. Diduganya, suara ledakan itu berasal dari tebing gunung bagian bawah yang patah.


Komitmen Tata Mandong begitu kuat. Ia rela meninggalkan desanya, Desa Takappala, dan memilih bertempat tinggal di Lembah Ramma, untuk menjaga totalitas kepeduliannya terhadap lingkungan. Tata Mandong bercerita, saat itu, 10 tahun lalu, ratusan warga desa mengantarnya ke tempat tinggal yang baru. Bahkan, rumah panggung miliknya juga ikut di boyong, setelah sebelumnya dibongkar dan dipisah-pisahkan.

Rumah panggung itu berukuran empat kali tiga meter. Di dalamnya, terdapat tiga buah ruangan. Ruang tamu yang menyatu dengan dapur, serta sebuah ruang tidur berukuran dua kali satu meter. Jika Tata Mandong memasak sesuatu, asap perapiannya memenuhi rumah dan mengepul keluar dari lubang-lubang di dinding papan yang rapuh.

Tinggi rumah panggung tidak seberapa. Lantainya, yang terbuat dari papan sedikit tebal, hanya berjarak sekitar semester dari tanah. Namun, ruang itu cukup bagi tiga ekor anjing miliknya, yang sudah dipeliharanya sejak 10 tahun lalu. Binatang-binatang itulah, yang selalu menemani Daeng Mandong dan menjaganya dari serbuan babi hutan, yang kadang menyerang rumah di malam hari.

Kelompok pencinta alam yamg mendaki Gunung Bawakaraeng menjadi sahabat Tata Mandong

Dari lembah itu, Tata Mandong juga mengawasi aktivitas para peternak di lereng-lereng gunung. Kadang, ia membantu peternak yang merupakan warga dari sejumlah desa yang ada di sekitar kaki gunung, menambatkan binatang ternaknya dan memberikan makan. Sosok TataMandong sangat berarti bagi warga desa. Karena ia menjadi pemberi informasi awal bagi para warga di sekitar kaki gunung, jika terjadi gejala alam yang membahayakan jiwa mereka. Dari informasinya itulah, warga memutuskan apakah akan tetap melakukan kegiatan bertani dan berternak, atau tidak.

Selain warga desa, Tata Mandong juga ternyata menjadi Rescue Team dadakan, jika ada diantara pendaki Gunung Bawakaraeng yang mengalami musibah.

Para pendaki itu sering memanggil Daeng Mandong dengan sebutan Tata’, Bahasa Makassar yang artinya Bapak. Sebutan itu, diartikan sebagai sapaan penghormatan mereka kepada Daeng Mandong.

***
Tata Mandong bercerita, selain kondisi Gunung Bawakaraeng, masih ada satu hal lagi yang mengganjal pikirannya. Meski sudah 10 tahun, ia masih memikirkan keberadaan istri dan anaknya. Tahun 1986 lalu, Tata Mandong harus menerima kenyataan pahit. Sang istri, Maniah, menuntut cerai suaminya itu, karena tak tahan dengan kondisi kemiskinan yang dialami keluarga mereka.

Gaji dari pekerjaan Tata Mandong sebagai penanam bibit pohon, tidak mencukupi untuk kebutuhan keluarga. Maniah, akhirnya pergi dan membawa serta puteri semata wayang mereka, Fatimah, ke Makassar. Perpisahan itu, ternyata makin memompa semangat Tata Mandong. Di tahun yang sama, ia memutuskan pindah dari desanya di Desa Takappala, dan memilih hidup sendiri di Lembah Ramma.

Sampai saat ini, Tata Mandong tak mengetahui keberadaan mereka. Laki-laki itu, tetap menyimpan kerinduan. “Punna nakulle sallang, nia se’re wattu, lakuboya ngasengngi,” katanya. Yang artinya, kalau ada waktu saya ingin mencari mereka...

2 komentar:

  1. soryy broo bukan bermaksud lain tapi ada beberapa tulisan yang salah mengenai gunung kerinci...
    sori yah

    BalasHapus
  2. aduh yg mana sob, gpp kok. q malah senang kalau ada comen. yg mana tuh, biar q ubah sobat...
    thx sob y da baca artikel q...
    kasi tau sob y...

    BalasHapus